A. LATAR BELAKANG
Pendidikan multikultural dikenal sekitar awal tahun 2000
sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia
yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru
dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan
dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan
dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan
nasional.
Istilah pendidikan multikultural itu sendiri menggambarkan
isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat
multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan
terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat
multikultural. Dalam konteks deskriftif, maka kurikulum pendidikan
multikultural harus mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema
tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian
konflik dan mediasi: HAM; demokratis; kemanusiaan universal, dan subjek lain
yang relevan.
Kebijakan
pendidikan harus bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai
konsekuensi Indonesia yang memiliki corak masyarakat yang majemuk. Dengan
diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang
pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang multikultural telah mendapat wadah
untuk implementasinya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan
pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi dan peran
yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi
bangsa perlu kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasikan pada
pendekatan multikultural dan pemerataannya di daerah.
Hal ini
merupakan tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan
dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut
pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk
membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
Negara
dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem
pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala
dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan
nilai-nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat
diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui
dan menghormati keanekaragaman budaya.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang
sarat kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi
sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga
konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat
dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke
depan.
Makalah ini akan membahas beberapa persoalan kebangsaan dari
perspektif pendidikan. Penulis mengajukan gagasan sederhana terkait dengan
peran pendidikan, yakni melalaui pendidikan berbasis multikultural sebagai
upaya meningkatkan integritas nasional.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud Pendidikan Multikultural?
2. Bagaimana
peran pendidikan mutikultural untuk menumbuhkan integrasi Negara?
PEMBAHASAN
1.
Pendidikan
Multikultural
Pendidikan
multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat
majemuk. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekuatan dan
kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan
bangsa tidak mudah patah dan retak. Pendidikan multikultural menurut Lawrence
J. Saha (1997), merpakan suatu proses atau strategi pendidikan yang diarahkan
untuk mewujudkan kesadaran keberagaman, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan
yang mempertimbangkan perbedaan kultural dalam kesetaraan, dan juga perbedaan
dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan cara pandang, konsep, nilai,
keyakinan, dan sikap.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural
dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
- Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
- Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
- Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
- Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Kebijakan
pendidikan harus bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai
konsekuensi Indonesia yang memiliki corak masyarakat yang majemuk. Dengan
diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang
pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang multikultural telah mendapat wadah
untuk implementasinya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan
pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi dan peran
yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi
bangsa perlu kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasikan pada
pendekatan multikultural dan pemerataannya di daerah.
Hal ini
merupakan tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan
dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut
pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk
membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
Negara
dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem
pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala
dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan
nilai-nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat
diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui
dan menghormati keanekaragaman budaya.
Dunia
pendidikan tidak boleh terasing dari pembahasan mengenai realitas kemajemukan
tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai
andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di
tengah isu yang mengemuka mengenai “kurikulum berbasis kompetensi”, harus masuk
dalam rasionalitas kita untuk mendidik anak didik menjadi manusia yang
mempunyai rasa nasionalisme. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan
mengabaikan realitas kemajemukan yang ada di dalam negaraIndonesia.
Dalam hal ini
terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama
pendidikan kemajemukan dan makna dari kemajemukan tersebut bagi kehidupan. Oleh
karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang
mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling
menyadari tentang sebuah perbedaan.
Pendidikan
multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah
perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka, dan diskriminatif ke
perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran,
dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang
tidak terbatas pada dimensi kognitif.
Dalam konteks
Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran
pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat
mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai
dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan
menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sebaliknya, tanpa
pendidikan multikultural, maka konflik dan disintegrasi sosial yang destruktif
akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan
bangsa.
Untuk mewujudkan proses pendidikan berbasis multikultural,
ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan, yaitu: Pertama, tidak lagi
terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan
persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan
program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan
sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung
jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik
semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang
bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan
pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang
menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu
lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik
sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik
mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self
sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan
berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam
konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami
para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan
kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik
mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai
kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi
dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan
orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas
bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik
adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan
memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam
kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural
tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan
kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi
ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik
dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam
beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari
konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi
semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan
diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan
multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung
makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan
mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada
pada diri anak didik.
2.
Peran
Pendidikan Multikultural Dalam Menumbuhkan Integrasi Negara
Uraian sebelumnya telah banyak dijelaskan betapa paradigma
pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk keragamannya etnik, ras,
agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi
dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap
kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain.
Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan
membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku,
budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di
sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi
muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara
sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai
harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural
disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika
mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai
jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma
multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal
4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan,
bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan jelas mempunyai peranan kunci dalam mengusung
idealisme masyarakat multikulturalisme dan cross-cultural. Oleh karena
itu, pendidikan berbasis multikulturalisme dan kebangsaan menjadi penting
diterapkan di semua lembaga pendidikan dalam rangka menumbuhkan paham dan
wawasan kebangsaan. Di negara-negara majemuk hal seperti itu sudah diterapkan
sejak dasawarsa 1970-an.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya
adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi
pembelajar dan yang sesuai dengan kebutuhan akademik maupun sosial anak didik.
Pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural,
diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik
pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia seperti; toleransi, perbedaan
etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas,
kemanusiaan universal serta subyek-seubyek lain yang relevan.
Dengan ini peranan pendidikan multikultural dalam
menumbuhkan integrasi Negara yaitu sebagai berikut :
- pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai keberagaman budaya. Artinya, keberagaman budaya itu tidak hanya ditoleransi tetapi juga dirangkul dan keragaman pengalaman manusia itu diharapkan memberi kearifan.
- pendidikan multikultural mengakui dan menyambut keragaman dari warisan etnik yang ditemukan dalam diri setiap orang yang disebut “orang Indonesia” dan oleh karena itu menolak pandangan bahwa sekolah harus berupaya mencairkan perbedaan kultural atau sebaiknya hanya mentoleransi keberagaman budaya.
- pendidikan multikultural tidak memaksa atau menolak setiap peserta didik karena identitas suku, agama, ras, golongan. Keinginan setiap anak bangsa yang merupakan bagian dari keluarga besar Indonesia perlu diketahui dan dihargai. Sebagian keluarga mungkin tidak dapat mengidentifikasi dengan pasti warisan etnik mereka, dan keluarga lain mungkin tidak tertarik untuk melakukan hal itu. Masih ada keluarga yang memiliki warisan campuran sehingga mengidentifikasi semacam ini menjadi kurang bermakna. Sebagian yang lain mengetahui warisan mereka akan tetapi tidak mau anak-anak mereka untuk membangun rasa identitas etnik yang kuat. Untuk keluarga-keluarga ini “Indonesia” adalah satu-satunya identitas “etnik” yang dicari bagi anak-anak mereka. Pendidikan multikultural yang direncanakan secara cermat akan cocok bagi semua anak, baik yang mencari maupun tidak mencari rasa identitas etnik mereka.
- pendidikan multikultural mengakui kebutuhan dan manfaat peserta didik untuk berbagi bersama diversitas warisan etnik mereka.
- pendidikan multikultural mengakui pentingnya setiap peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi secara positif dan personal dengan semua peserta didik dari berbagai latar belakang sosioekonomi dan warisan budaya.
- pendidikan multikultural memberikan setiap peserta didik berkesempatan untuk membantu berkembangnya sense of self. Ini terutama bagi mereka yang secara ekonomi tidak beruntung dan apalagi berasal dari sebuah kelompok etnik yang relatif terisolasi atau yang memiliki sejarah penderitaan panjang akibat diskriminasi dan prasangka. Dengan belajar tentang dan bangga terhadap keunikan warisan budayanya sendiri, anak tersebut akan terbantu dalam menjawab pertanyaan “Siapakah saya ?”. Pertanyaan yang sama juga akan dijawab bagi anak bangsa melalui sharing dengan anak-anak bangsa lainnya dengan latar etnik yang beragam. Apakah mereka itu mengembangkan identitas etnik yang kuat ataukah tidak, yang pasti mereka semua pada waktu itu mempelajari kekayaan multikultural dari identitas mereka sebagai orang Indonesia.
- pendidikan multikultural mengedepankan semangat kekeluargaan (fratenity), solidaritas sosial (solidarity), dan keterikatan antar siswa yang beragam tersebut yakni prinsip keadilan (justice), kesederajatan (egality), kebebasan (liberty) mengembangkan diri, peluang dan kesempatan (opportunity) yang sama dalam mengejar prestasi individu.
Dari harapan dan paradigma pendidikan multukultural yang
telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis multikultural
bertujuan untuk membantu peserta didik:
1)
memahami
latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat
2)
menghormati
dan mengapresiasi kebhinekaan budaya dan sosio-historis etnik,
3)
menyelesaikan
sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka,
4)
memahami
faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan
terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik
5)
meningkatkan
kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui
proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil
dan bebas
6)
mengembangkan
jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Namun demikian, menyusun pendidikan multikultural dalam
tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antarkelompok mengandung tantangan yang
tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “merayakan
keragaman”. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi
dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta anak didik
yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena
warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam
kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai
advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan berwawasan kebangsaan.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dalam rangka memelihara integrasi bangsa dihadapkan pada
situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia saat ini dan prediksi
perkembangannya ke masa depan dapat direkomendasikan beberapa pilihan kebijakan
nasional seperti mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui pembinaan
kehidupan masyarakat atas dasar kedewasaan dan pendewasaan kultur sosial dalam
memelihara integrasi nasional, mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui
pembinaan kehidupan masyarakat atas dasar penegakan supremasi hukum dan
mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui pembinaan kehidupan masyarakat atas
dasar desentralisasi kekuasaan dalam rangka memelihara integrasi nasional.
Salah satu
upaya dari pemerintah di bidang pendidikan yaitu dengan adanya pendidikan
multikultural kepada peserta didik yang tujuannya untuk menumbuhkan integrasi
Negara. Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar
mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka,
dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan
perbedaan, toleran, dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut
transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif.
Dalam konteks
Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran
pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat
mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai
dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan
menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sebaliknya, tanpa
pendidikan multikultural, maka konflik dan disintegrasi sosial yang destruktif
akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
DAFTAR
PUSTAKA
Yaqin,
Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural : Cross-Cultural Understanding Untuk
Demokrasi Dan Keadilan. Yogyakarta : Pilar Media
Airlangga, C. Zainal. 2010. Mahasiswa
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia : Integritas Nasional Melalui
Pendidikan Berbasis Multikultural. http://kampusmaya.org/2010/01/09/integritas-nasional-melalui-pendidikan-berbasis-multikultural.
Diakses ppada tanggal 29 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar