Sabtu, 05 Januari 2013

“Peran Pendidikan Multikultural Dalam Menumbuhkan Integrasi Negara”




A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan multikultural dikenal sekitar awal tahun 2000 sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan multikultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hal itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional.
Istilah pendidikan multikultural itu sendiri menggambarkan isu-isu dan masalah-masalah pendidikan yang berkaitan dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriftif, maka kurikulum pendidikan multikultural harus mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama: bahaya diskriminasi: penyelesaian konflik dan mediasi: HAM; demokratis; kemanusiaan universal, dan subjek lain yang relevan.
Kebijakan pendidikan harus bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia yang memiliki corak masyarakat yang majemuk. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang multikultural telah mendapat wadah untuk implementasinya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi dan peran yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasikan pada pendekatan multikultural dan pemerataannya di daerah.
Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
Negara dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan nilai-nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan.
Makalah ini akan membahas beberapa persoalan kebangsaan dari perspektif pendidikan. Penulis mengajukan gagasan sederhana terkait dengan peran pendidikan, yakni melalaui pendidikan berbasis multikultural sebagai upaya meningkatkan integritas nasional.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud Pendidikan Multikultural?
2.      Bagaimana peran pendidikan mutikultural untuk menumbuhkan integrasi Negara?









PEMBAHASAN

1.      Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat majemuk. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekuatan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Pendidikan multikultural menurut Lawrence J. Saha (1997), merpakan suatu proses atau strategi pendidikan yang diarahkan untuk mewujudkan kesadaran keberagaman, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural dalam kesetaraan, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan cara pandang, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap.
Dalam implementasinya, paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk berpegang pada prinsip-prinsip berikut ini:
  • Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
  • Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
  • Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda.
  • Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama.
Kebijakan pendidikan harus bersifat akomodatif terhadap aspirasi rakyatnya sebagai konsekuensi Indonesia yang memiliki corak masyarakat yang majemuk. Dengan diberlakukan otonomi daerah yang termasuk di dalamnya otonomi bidang pendidikan, maka kebijakan pendidikan yang multikultural telah mendapat wadah untuk implementasinya secara jelas. Namun dalam pelaksanaannya kebijakan pendidikan Indonesia secara umum dinilai belum memiliki orientasi dan peran yang jelas. Untuk itu dalam konteks kepentingan upaya mewujudkan integrasi bangsa perlu kebijakan dan peran pendidikan yang berorientasikan pada pendekatan multikultural dan pemerataannya di daerah.
Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan di Indonesia, dimana pendidikan dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
Negara dipandang perlu memberikan porsi pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan agar peserta didik memiliki kepekaan dalam menghadapi gejala-gejala dan masalah-masalah sosial yang berakar pada perbedaan suku, ras, agama, dan nilai-nilai yang terjadi pada lingkungan masyarakat. Hal ini dapat diimplementasikan baik pada substansi maupun model pembelajaran yang mengakui dan menghormati keanekaragaman budaya.
Dunia pendidikan tidak boleh terasing dari pembahasan mengenai realitas kemajemukan tersebut. Bila tidak disadari, jangan-jangan dunia pendidikan turut mempunyai andil dalam menciptakan ketegangan-ketegangan sosial. Oleh karena itu, di tengah isu yang mengemuka mengenai “kurikulum berbasis kompetensi”, harus masuk dalam rasionalitas kita untuk mendidik anak didik menjadi manusia yang mempunyai rasa nasionalisme. Dengan demikian, tidak saatnya lagi pendidikan mengabaikan realitas kemajemukan yang ada di dalam negaraIndonesia.
Dalam hal ini terlihat bahwa terdapat beban yang sangat berat bagi pendidikan kita terutama pendidikan kemajemukan dan makna dari kemajemukan tersebut bagi kehidupan. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang mengembangkan konsep toleransi, saling menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan.
Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka, dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran, dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sebaliknya, tanpa pendidikan multikultural, maka konflik dan disintegrasi sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.
Untuk mewujudkan proses pendidikan berbasis multikultural, ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan, yaitu: Pertama, tidak lagi terbatas pada menyamakan pandangan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atan pendidikan multikultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudayaan membebaskan pendidik dari asumsi bahwa tanggung jawab primer menegmbangkan kompetensi kebudayaan di kalangan peserta didik semata-mata berada di tangan mereka dan justru semakin banyak pihak yang bertanggung jawab karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal di luar sekolah.
Kedua, menghindari pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik adalah sama. Artinya, tidak perlu lagi mengasosiasikan kebudayaan semata-mata dengan kelompok-kelompok etnik sebagaimana yang terjadi selama ini. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient, ketimbang dengan sejumlah orang yang secara terus menerus dan berulang-ulang terlibat satu sama lain dalam satu atau lebih kegiatan. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan ini diharapkan dapat mengilhami para penyusun program-program pendidikan multikultural untuk melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotip menurut identitas etnik mereka dan akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan di kalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu “kebudayaan baru” biasanya membutuhkan interaksi inisiatif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, bahkan dapat dilihat lebih jelas bahwa uapaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multikultural. Mempertahankan dan memperluas solidarits kelompok adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multikultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi ditentukan oleh situasi.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik dalam maupun luar sekolah) meningkatkan kesadaran tentang kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kesadaran seperti ini kemudian akan menjauhkan kita dari konsep dwi budaya atau dikhotomi antara pribumi dan non-pribumi. Dikotomi semacam ini bersifat membatasi individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas kebudayaan. Pendekatan ini meningkatkan kesadaran akan multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia. Kesadaran ini mengandung makna bahwa pendidikan multikultural berpotensi untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada diri anak didik.

2.      Peran Pendidikan Multikultural Dalam Menumbuhkan Integrasi Negara
Uraian sebelumnya telah banyak dijelaskan betapa paradigma pendidikan multikulturalisme sangat bermanfaat untuk keragamannya etnik, ras, agama, budaya dan kebutuhan di antara kita. Paparan di atas juga memberi dorongan dan spirit bagi lembaga pendidikan nasional untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang, budaya, agama, dan keyakinan lain. Harapannya, dengan implementasi pendidikan yang berwawasan multikultural, akan membantu siswa mengerti, menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya dan nilai kepribadian. Lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau hidup bersama secara damai. Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika pendidikan multikultural disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan, serta, jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
Pendidikan jelas mempunyai peranan kunci dalam mengusung idealisme masyarakat multikulturalisme dan cross-cultural. Oleh karena itu, pendidikan berbasis multikulturalisme dan kebangsaan menjadi penting diterapkan di semua lembaga pendidikan dalam rangka menumbuhkan paham dan wawasan kebangsaan. Di negara-negara majemuk hal seperti itu sudah diterapkan sejak dasawarsa 1970-an.
Secara operasional, pendidikan multikultural pada dasarnya adalah program pendidikan yang menyediakan sumber belajar yang jamak bagi pembelajar dan yang sesuai dengan kebutuhan akademik maupun sosial anak didik. Pendidikan multikultural sebagai pengganti dari pendidikan interkultural, diharapkan dapat menumbuhkan sikap peduli dan mau mengerti atau adanya politik pengakuan terhadap kebudayaan kelompok manusia seperti; toleransi, perbedaan etno-kultural dan agama, diskriminasi, HAM, demokrasi dan pluralitas, kemanusiaan universal serta subyek-seubyek lain yang relevan.
Dengan ini peranan pendidikan multikultural dalam menumbuhkan integrasi Negara yaitu sebagai berikut :
  1. pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai keberagaman budaya. Artinya, keberagaman budaya itu tidak hanya ditoleransi tetapi juga dirangkul dan keragaman pengalaman manusia itu diharapkan memberi kearifan.
  2. pendidikan multikultural mengakui dan menyambut keragaman dari warisan etnik yang ditemukan dalam diri setiap orang yang disebut “orang Indonesia” dan oleh karena itu menolak pandangan bahwa sekolah harus berupaya mencairkan perbedaan kultural atau sebaiknya hanya mentoleransi keberagaman budaya.
  3. pendidikan multikultural tidak memaksa atau menolak setiap peserta didik karena identitas suku, agama, ras, golongan. Keinginan setiap anak bangsa yang merupakan bagian dari keluarga besar Indonesia perlu diketahui dan dihargai. Sebagian keluarga mungkin tidak dapat mengidentifikasi dengan pasti warisan etnik mereka, dan keluarga lain mungkin tidak tertarik untuk melakukan hal itu. Masih ada keluarga yang memiliki warisan campuran sehingga mengidentifikasi semacam ini menjadi kurang bermakna. Sebagian yang lain mengetahui warisan mereka akan tetapi tidak mau anak-anak mereka untuk membangun rasa identitas etnik yang kuat. Untuk keluarga-keluarga ini “Indonesia” adalah satu-satunya identitas “etnik” yang dicari bagi anak-anak mereka. Pendidikan multikultural yang direncanakan secara cermat akan cocok bagi semua anak, baik yang mencari maupun tidak mencari rasa identitas etnik mereka.
  4. pendidikan multikultural mengakui kebutuhan dan manfaat peserta didik untuk berbagi bersama diversitas warisan etnik mereka.
  5. pendidikan multikultural mengakui pentingnya setiap peserta didik memiliki banyak kesempatan untuk berinteraksi secara positif dan personal dengan semua peserta didik dari berbagai latar belakang sosioekonomi dan warisan budaya.
  6. pendidikan multikultural memberikan setiap peserta didik berkesempatan untuk membantu berkembangnya sense of self. Ini terutama bagi mereka yang secara ekonomi tidak beruntung dan apalagi berasal dari sebuah kelompok etnik yang relatif terisolasi atau yang memiliki sejarah penderitaan panjang akibat diskriminasi dan prasangka. Dengan belajar tentang dan bangga terhadap keunikan warisan budayanya sendiri, anak tersebut akan terbantu dalam menjawab pertanyaan “Siapakah saya ?”. Pertanyaan yang sama juga akan dijawab bagi anak bangsa melalui sharing dengan anak-anak bangsa lainnya dengan latar etnik yang beragam. Apakah mereka itu mengembangkan identitas etnik yang kuat ataukah tidak, yang pasti mereka semua pada waktu itu mempelajari kekayaan multikultural dari identitas mereka sebagai orang Indonesia.
  7. pendidikan multikultural mengedepankan semangat kekeluargaan (fratenity), solidaritas sosial (solidarity), dan keterikatan antar siswa yang beragam tersebut yakni prinsip keadilan (justice), kesederajatan (egality), kebebasan (liberty) mengembangkan diri, peluang dan kesempatan (opportunity) yang sama dalam mengejar prestasi individu.
Dari harapan dan paradigma pendidikan multukultural yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan berbasis multikultural bertujuan untuk membantu peserta didik:
1)      memahami latar belakang diri dan kelompok dalam masyarakat
2)      menghormati dan mengapresiasi kebhinekaan budaya dan sosio-historis etnik,
3)      menyelesaikan sikap-sikap yang terlalu etnosentris dan penuh purbasangka,
4)      memahami faktor-faktor sosial, ekonomis, psikologis, dan historis yang menyebabkan terjadinya polarisasi etnik ketimpangan dan keterasingan etnik
5)      meningkatkan kemampuan menganalisis secara kritis masalah-masalah rutin dan isu melalui proses demokratis melalui sebuah visi tentang masyarakat yang lebih baik, adil dan bebas
6)      mengembangkan jati diri yang bermakna bagi semua orang.
Namun demikian, menyusun pendidikan multikultural dalam tatanan masyarakat yang penuh permasalahan antarkelompok mengandung tantangan yang tidak ringan. Pendidikan multikultural tidak berarti sebatas “merayakan keragaman”. Apalagi jika tatanan masyarakat yang ada masih penuh diskriminasi dan bersifat rasis. Dapat pula dipertanyakan apakah mungkin meminta anak didik yang dalam kehidupan sehari-hari mengalami diskriminasi atau penindasan karena warna kulitnya atau perbedaannya dari budaya yang dominan tersebut? Dalam kondisi demikian pendidikan multikultural lebih tepat diarahkan sebagai advokasi untuk menciptakan masyarakat yang toleran dan berwawasan kebangsaan.






PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Dalam rangka memelihara integrasi bangsa dihadapkan pada situasi dan kondisi kehidupan di Indonesia saat ini dan prediksi perkembangannya ke masa depan dapat direkomendasikan beberapa pilihan kebijakan nasional seperti mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui pembinaan kehidupan masyarakat atas dasar kedewasaan dan pendewasaan kultur sosial dalam memelihara integrasi nasional, mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui pembinaan kehidupan masyarakat atas dasar penegakan supremasi hukum dan mengembangkan rekonsiliasi nasional melalui pembinaan kehidupan masyarakat atas dasar desentralisasi kekuasaan dalam rangka memelihara integrasi nasional.
Salah satu upaya dari pemerintah di bidang pendidikan yaitu dengan adanya pendidikan multikultural kepada peserta didik yang tujuannya untuk menumbuhkan integrasi Negara. Pendidikan multikultural seyogyanya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka, dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran, dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif.
Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan muatan yang sarat kemajemukan, maka peran pendidikan yang berbasis multikultural menjadi sangat strategis untuk dapat mengelola kemajemukan secara kreatif, sehingga konflik yang muncul sebagai dampak dari transformasi dan reformasi sosial dapat dikelola secara cerdas dan menjadi bagian dari pencerahan kehidupan bangsa ke depan. Sebaliknya, tanpa pendidikan multikultural, maka konflik dan disintegrasi sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa.

DAFTAR PUSTAKA


Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural : Cross-Cultural Understanding Untuk Demokrasi Dan Keadilan. Yogyakarta : Pilar Media
Airlangga, C. Zainal. 2010. Mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia : Integritas Nasional Melalui Pendidikan Berbasis Multikultural. http://kampusmaya.org/2010/01/09/integritas-nasional-melalui-pendidikan-berbasis-multikultural. Diakses ppada tanggal 29 Mei 2012

Elkaf, Reza. 2011. Catatan-catatan Pemikiran : Integrasi Bangsa Melalui Pendidikan Multikultural. http://rezaelkaf.wordpress.com/2011/05/31/integrasi-bangsa-melalui-pendidikan-berbasis-mulkultural. Diakses pada tanggal 30 Mei 2012


http://zona-pelajar.blogspot.com/2011/03/pendidikan-multikultural-guna-mencapai.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar